Langsung ke konten utama

Pentingkah Anda Punya Banyak Teman?

Jawabannya tidak penting.

Karena orang yang “punya banyak teman” justru tidak berkembang, berkemampuan rata-rata, menolak berpikir besar, malas bercita-cita tinggi, dan terus-menerus “dikendalikan” lingkungan, sehingga mereka “picik secara bertalu-talu”; sehingga skill mereka hanya “diasah setengah hati”; sehingga pemikiran mereka tidak kreatif; sehingga impian mereka bersifat remeh-temeh. Kemudian alhasil, kalau Anda sudah “punya banyak teman”, Anda akan “bias” dan menganggap jika “kemampuan mencari teman” adalah bentuk pengembangan diri, padahal sejatinya, Anda hanya “membilik-bilikkan diri Anda pada kecupetan”; Anda hanya melakukan “langkah biasa yang semua orang bisa”; Anda hanya “bertindak linear, alih-alih lateral”; Anda hanya bertujuan hina-dina seperti “mencari perhatian”.

Maka, menilik dari semua itu, kalau tujuan hidup Anda untuk “menambah wawasan, memperbaiki kualitas diri, bertindak out of the box, dan mendapat penghargaan besar”, lantas, meninggalkan hal yang sia-sia seperti “punya banyak teman” adalah sebuah keharusan. Kalau Anda tidak memiliki tujuan seperti itu, maka—dengan hormat—artikel ini tidak bermanfaat untuk Anda.

Alih-alih membuat diri Anda berkembang, “memperbanyak teman” hanya akan membuat Anda “patuh pada aturan lingkungan”, sehingga hanya fokus pada “penyeragaman habits”, kalau sudah diseragamkan oleh lingkungan—baca: keberhasilan propaganda dari lingkungan untuk memperkosa kata “solidaritas”—Anda hanya akan “bebek-membebek” untuk kepentingan adaptif, sebab, kalau tidak begitu, notabene “lingkungan akan mengucilkan Anda”. Lantas, hanya karena takut dengan resiko ini, secara sekonyong-konyong, orang-orang berlomba untuk menjadi “yang paling patuh” pada aturan lingkungan, mereka tidak ingin setitik kesalahan yang dapat membuat lingkungan “marah”; mereka laksana “lembu yang dicucuk hidungnya” sehingga mengikuti kemanapun lingkungan menuntun, lalu alhasil, hidup orang-orang ini penuh “rasa takut” akan resiko yang sebenarnya hanya “imajinasi mereka yang lebay”.

Di sisi lain, pun, pada saat yang sama, saya tidak mengatakan “punya banyak teman adalah hal yang buruk”, justru saya mengakui bahwa “punya banyak teman itu bagus”. Akan tetapi, seperti kata Jim Collins dalam bukunya, “bagus itu lawannya hebat”—artinya bagus vs hebat—sehingga orang yang mengejar “perihal bagus” tidak akan mendapatkan “perihal hebat”, maka kalau “punya banyak teman” malah membuat Anda tidak hebat, kesimpulannya, “memiliki banyak teman” tidak berguna untuk Anda.

Jika punya banyak teman dinilai sebagai “kesuksesan secara hubungan sosial”, maka definisi “sukses sosial” mereka hanya sebatas pada permukaan—baca: penghargaan yang bersifat kecil—bukannya pada kualitas—baca: pengembangan diri—sehingga mereka laksana “katak di dalam tempurung”. Maka, berkaitan dengan itu, ternyata orang-orang di negara berkembang “mematok” kesuksesan hanya dari “tampilan fisik” seperti kepemilikan uang, jabatan, aset, populer, bisnis dan properti.

Kabar buruknya, menurut survei baru-baru ini, ternyata 8 dari 10 orang Indonesia setuju bahwa sukses adalah “banyak uang”, sedangkan di Jepang hanya 2 dari 10, dan di Irlandia hanya 1 dari 10. Lantas—terlepas dari ketepatan survei tersebut—mari menarik kesimpulan, apakah benar di negara kita yang apa-apa selalu “berlandaskan agama” ini malah berorientasi pada materi?

Silahkan dicari jawabannya sendiri, karena kalau dibahas, itu tidak termasuk poin. Tetapi yang pasti, di sini saya tidak hanya akan menjabarkan “keluhan”, karena saya merasa bertanggung jawab untuk memberikan solusi, sehingga Anda memperoleh sebuah “wawasan baru” tentang point of view dalam konteks “memperbanyak teman”. Jadi, untuk membuat Anda “dicitrakan” sukses secara sosial—baca: punya banyak teman—sebenarnya, Anda tidak perlu bersusah payah untuk “mencari banyak teman”, namun cukup melakukan langkah lateral—seperti kata Ippho Santosa dalam bukunya, “bukan kebetulan kata Lateral sama dengan Letter L”—berupa cara yang dibalik, sehingga caranya menjadi “upayakan teman yang mencari Anda”.

Kala kian, saya menjamin—tanpa bermaksud mencela—bahwa sekatrok-katroknya Anda, secupu-cupunya Anda, semiskin-miskinnya Anda, sedungu-dungunya Anda, apabila Anda berkualitas secara pribadi maupun profesi, maka hanya “orang sakit jiwa” yang meremehkan Anda, sehingga tentu, orang-orang akan berbondong kepada Anda hanya karena ingin berteman. Kunci dari ini cuma satu: kalau “impian besar” Anda tercapai, lingkungan Anda akan berubah “menyenangkan” bagaikan surga.

Dunia “dipimpin” oleh orang-orang yang bersolidaritas tinggi dalam pertemanan, sehingga berdasarkan jumlah, orang-orang yang solid dalam pertemanan jumlahnya “sangat banyak”, dan kebalikan dari itu, orang-orang yang tidak solid dalam pertemanan berjumlah “sangat sedikit”. Artinya yang solid adalah “mayoritas”, sedangkan yang tidak solid adalah “minoritas”. Namun pasti, lambat laun karena terlampau banyak, akan ada masa Si Mayoritas—baca: orang yang solid dalam pertemanan—tidak akan mendapat tempat di dunia ini dan mulai ditinggalkan penganut prinsipnya, sehingga yang eksis justru Si Minoritas—baca: orang yang suka menyendiri—sebab prinsip mereka adalah “menyempurnakan kualitas diri”, bukan justru sebatas “mencari pengakuan”.

Terlepas dari “kredibilitas” prediksi saya itu—Anda tidak perlu terlalu mempercayainya—bila Anda membaca buku karya Muhammad Fethullah Gulen yang sangat tebal, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul, ternyata beliau orang pertama yang merenungi “lingkungannya yang busuk”, juga, orang pertama yang menyendiri di gua dan menghindari seluruh interaksi sosial. Lalu, bukannya Sang Nabi “tidak berkembang”, justru kebiasaan “merenung” membuat beliau menjadi “manusia paling berkualitas” secara emosi dan profesi yang dipanut sampai 1400 tahun lamanya.

Punya banyak teman tidak menjamin Anda terhindar dari kesepian, karena semua tahu, ada orang-orang yang justru “merasa sepi” di antara kerumunan kawan-kawannya. Memiliki banyak teman tidak menjamin Anda mendapat link job melimpah, sebab prinsip tidak tulus seperti “mencari banyak teman untuk memperbanyak link job” sudah banyak dipakai orang-orang di seluruh dunia, sehingga bukannya Anda dipekerjakan oleh mereka, justru Anda hanya bertemu sesama pencari link job. Pula, punya banyak teman tidak menjamin Anda dapat mengembangkan diri, karena malah sesama “pencari teman” justru—maaf—orang-orang yang picik secara wawasan dan dungu secara kecerdasan.

Lantas, selain tidak bermanfaat, bagaimana bisa “punya banyak teman” juga tidak menghasilkan ketiga hal di atas? Ternyata kunci untuk “menghindari kesepian, memiliki banyak link job dan mengembangkan diri”, bukan didapat dari “punya banyak kawan” tapi diperoleh dari “pengetahuan” Anda sendiri. Pengetahuan Anda tentang emosi yang menuntun untuk “menghindari kesepian, memiliki banyak link job dan mengembangkan diri”, bukan hal yang lain.

Jadi, secerdas apapun Anda, sejenius bagaimanapun Anda, sesempurna apapun IPK Anda, kalau tidak memiliki “pengetahuan” tentang emosi, Anda hanya akan dikendalikan lingkungan yang syarat akan “solidaritas pertemanan”, sehingga secara tidak sadar, Anda akan merasa nyaman dalam kubangan lumpur bernama “punya banyak teman” itu. Ternyata, hampir sama seperti konsep dalam buku Magnet Rezeki karya Nasrullah, bahwa, “Rezeki tidak perlu dicari, akan tetapi didatangkan”, sama halnya dengan cara memiliki banyak teman: “Anda tak perlu mencari kawan, tapi kawanlah yang harus mencari Anda”.

Maka, pengetahuan tentang emosi akan mengantarkan Anda pada keberhasilan profesi maupun kualitas diri, sehingga kalau sukses secara profesi, memiliki kredibilitas tinggi, dan mempunyai “nilai jual” di pasaran, lantas, teman yang akan datang kepada Anda tanpa perlu bersusah payah Anda mencari, sehingga kala kian, secara otomatis, Anda “terhindar dari kesepian, punya banyak link job dan dapat mengembangkan diri”. Lalu, jika Anda sudah berwawasan tinggi mengenai emosi, tidak ada yang dapat memanipulasi Anda, sebab Anda tidak mau dikendalikan oleh emosi, pula, Anda tidak membiarkan lingkungan mengubah tekat akan cita-cita. Bukankah sudah ada contoh mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW, karena, bersebab pengetahuan tentang pengendalian emosi, beliau dapat menjadi cahaya yang terang-benderang di lingkungan yang keruh.

Orang “sebesar” Donald Trump saja, ketika ditanya dalam wawancara tentang dua hal yang membuatnya sukses, dia menjawab, “keluarga dan kualitas”. Di sisi lain, kata Aa Gym dalam seminarnya, “untuk menjadi kredibel, Anda harus menjunjung tinggi sigma kepuasan orang lain”. Pula, pada tempat yang berbeda, kata penulis Jogja Nafis Mudrika dalam bukunya, “perubahan yang baik seperti filosofi telur, yaitu dari dalam ke luar, bukan dari luar ke dalam”. Namun, saya tidak pernah membaca buku yang penulisnya menyatakan, “untuk menjadi lebih baik, Anda butuh banyak teman”. Bahkan, saya berani menyimpulkan, bahwa tak ada “orang besar” yang berpikiran seperti itu. Sekali lagi, tak ada!

Jika hanya karena “tidak punya teman” yang membuat bangsa ini gelisah, maka ingatlah, pada saat yang sama, bangsa lain sudah meresahkan kurang sempurnanya karya mereka. Dewasa ini, bangsa lain sudah mempersepsikan kata “keren” sebagai kemampuan berinovasi, sedangkan kita masih menafsiri kata “keren” sebagai kepemilikan barang dengan brand terkenal.

Lantas, kalau bangsa ini mau menjadikan “pengetahuan” sebagai senjata, sehingga mau menyendiri sejenak untuk menguasai materi sebuah buku, maka, bukan tidak mungkin kualitas kita setara dengan bangsa Jepang dan Amerika. Kalau berbicara persaingan internasional, lantas passion untuk “mencari teman yang banyak” atau “membuat pertemanan atau persahabatan yang solid” akan menjadi perihal remeh-temeh. Sekali lagi, kalau Anda menjadi “besar”, maka tanpa perlu dicari, teman-teman yang “berkualitas” pula yang akan mengerumuni Anda. Setidaknya, saya pribadi sudah membuktikan hal itu.

          Terima kasih sudah membaca :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alih-Alih Perihal Tercela, Justru Anda Butuh Sikap Negatif

Alasan dari judul itu, sebab tulisan ini mengaitkan antara Sikap Negatif dan kebijaksanaan dalam konteks penyelesaian sebuah masalah. Lantas, pertanyaannya, mengapa harus dikaitkan dengan penyelesaian masalah? Karena dunia dipenuhi “masalah”—sehingga menurut ajaran agama samawi—Tuhan menciptakan “pemimpin di muka bumi” yang disebut manusia untuk menyelesaikan problem-problem itu.         Maka, tujuan Anda hidup tidak lain untuk menyelesaikan sebuah masalah, baik secara personal atau persoalan yang lebih luas; baik perihal sepele atau kesukaran yang luar biasa; baik penyelesaiannya bersifat sementara atau jangka panjang, tapi yang pasti, kalau tidak dapat menyelesaikan masalah, artinya Anda telah gagal sebagai produk Tuhan yang ditugaskan untuk memimpin muka bumi, sehingga kesimpulannya, kecerdasan untuk menyelesaikan masalah akan menentukan kualitas Anda sebagai “manusia”. Tanpa kualitas, Anda dan saya tak lebih unggul dari binatang gajah di pertunjukan sirkus—yang...

Anda Tidak Butuh Kerja Keras!

Sebab kerja keras sangat tidak bermanfaat untuk Anda, bahkan—tanpa bermaksud menampik gagasan dari pendidikan umum—cenderung merugikan dari segi self-improvement , profesionalitas, serta efisiensi. Alasannya, kerja keras hanya akan menguras tenaga, memperkecil “proses kreatif” sehingga memperlambat tujuan, dan membuat Anda tidak dapat mengembangkan potensi. Logikanya tenaga yang habis tidak membuat Anda produktif; logikanya pencapaian tujuan yang lambat akan “berakhir menyedihkan” karena—maaf—tidak menutup kemungkinan Anda ditakdirkan mati muda; logikanya bila potensi Anda tidak berkembang, maka Anda hanya hidup bagaikan jalan di tempat. Bayangkan, kalau Anda tetap berprinsip kerja keras dalam kehidupan, Anda akan mengalami tiga kerugian ini. Kalau Anda tetap “bebal” dan melanjutkan kerja keras Anda tanpa dasar ilmu, Anda hanya melakukan hal yang sia-sia, kalau Anda melakukan hal yang sia-sia, Anda tidak akan pernah mencapai tujuan Anda, jika tujuan Anda tidak tercapai, A...