Langsung ke konten utama

Anda Tidak Butuh Kerja Keras!


Sebab kerja keras sangat tidak bermanfaat untuk Anda, bahkan—tanpa bermaksud menampik gagasan dari pendidikan umum—cenderung merugikan dari segi self-improvement, profesionalitas, serta efisiensi. Alasannya, kerja keras hanya akan menguras tenaga, memperkecil “proses kreatif” sehingga memperlambat tujuan, dan membuat Anda tidak dapat mengembangkan potensi. Logikanya tenaga yang habis tidak membuat Anda produktif; logikanya pencapaian tujuan yang lambat akan “berakhir menyedihkan” karena—maaf—tidak menutup kemungkinan Anda ditakdirkan mati muda; logikanya bila potensi Anda tidak berkembang, maka Anda hanya hidup bagaikan jalan di tempat.

Bayangkan, kalau Anda tetap berprinsip kerja keras dalam kehidupan, Anda akan mengalami tiga kerugian ini. Kalau Anda tetap “bebal” dan melanjutkan kerja keras Anda tanpa dasar ilmu, Anda hanya melakukan hal yang sia-sia, kalau Anda melakukan hal yang sia-sia, Anda tidak akan pernah mencapai tujuan Anda, jika tujuan Anda tidak tercapai, Anda akan sedih, putus asa, menyalahkan diri sendiri, rendah diri, merasa hina-dina, lebih parahnya, Anda akan melakukan tindak kriminal, atau, melampiaskannya dengan bunuh diri. Paling tidak—tanpa perlu menghiraukan unsur horor dalam paragraf ini—bagi saya pribadi, kerja keras sangat tidak berguna bagi kehidupan umat manusia.

Mayoritas umat manusia di penjuru bumi adalah pekerja keras. Tanpa perlu dibuktikan, kita semua tahu, kebanyakan orang “bekerja keras” untuk mendapat nilai tinggi secara akademik mulai dari SD-SMA, lalu melanjutkan “kerja keras” itu untuk mendapat IPK bagus di perkuliahan, sehingga setelah lulus kuliah pun, prinsip kerja keras masih diterapkan, sehingga orang-orang ini hanya berakhir “banting tulang siang-malam untuk menafkahi keluarga serta memenuhi kebutuhan mendesak”. Maka akhirnya, kehidupan mereka pun menghasilkan sesuatu yang biasa, sebab hanya bercita-cita punya rumah dan mobil—baca: impian yang mainstream—sehingga “pikiran mereka yang imajinatif” dibatasi oleh prinsip bernama “kerja keras”, serta-merta, prinsip itu dijadikan tolok ukur untuk “keberanian” dalam mewujudkan sesuatu.

Lantas hasilnya, “mereka bermimpi kecil, tapi bekerja keras dengan membabibuta”. Di sisi lain, sedikit dari mereka yang sadar kalau kerja keras hanya “gali lubang, tutup lubang”; sedikit dari mereka yang tahu “kerja keras” ternyata menghabiskan tenaga yang berujung pada stress; sedikit dari mereka yang memahami kalau potensi dalam diri tak berkembang; sedikit dari mereka yang mengerti bahwa selama “berprinsip kerja keras”, mereka tidak dapat melampaui Sang Atasan yang menyuruh “sesuka hati” untuk menghasilkan uang dengan dalih profesionalisme itu.

Pada saat yang sama, minoritas umat manusia adalah “pemalas yang tenang”, mereka cenderung diremehkan sebab “merangkak seperlunya” saat melihat peluang yang tepat saja. Akan tetapi, berbeda dari Si Pekerja Keras yang membabibuta, ternyata mereka dapat mencapai tujuan hanya dengan “sekali merangkak”, sehingga Si Pemalas yang Tenang dapat disimpulkan “bernilai lebih unggul”.

Pula, Si Pemalas yang Tenang ini tidak boros tenaga, sehingga secara profesional terus produktif menghasilkan karya. Mereka fokus pada penggalian potensi diri dan terus melejit “secara berbeda” di antara orang-orang yang terpaku pada kompetisi dunia kerja; mereka “idealis yang tenang” ketika berada di lingkungan yang terbelakang sehingga keadaan lingkungan tak dapat memengaruhi persistensi; mereka Sosialis yang suka menderma tanpa takut miskin, pun, bersamaan dengan itu, Si Kapitalis Cerdas yang dapat menghasilkan keuntungan berlipat-lipat. Dalam hal ini, tentu, kehidupan mereka penuh keseimbangan.

Lain daripada itu, sebagian masyarakat kita masih menilai “tindakan” bangsa lain yang sudah “maju secara ekonomi dan teknologi” sebatas permukaan—baca: aktivitas yang tampak oleh mata saja—sehingga mereka tidak dapat merasakan “pemikiran besar” bangsa-bangsa ini. Contoh, ternyata masih ada yang “menilai” negara seperti Amerika dan Jepang “maju secara ekonomi dan teknologi karena mereka bekerja keras”, padahal jika sebab faktor “kerja keras”, alih-alih Amerika “mengendalikan” dunia dengan ekonominya, malah bangsa itu “dikendalikan” bangsa lain karena mengalami krisis. Alasannya, pengendalian membutuhkan “ilmu pengetahuan, intuisi, kreatifitas, keberanian, kebijaksanaan dan efektifitas”, bukannya malah faktor “kerja keras yang membabibuta”.

Pun, jika bangsa Jepang memilih “bekerja keras”, mereka akan terus berperang saudara karena masing-masing lebih memilih “kerja keras untuk kepentingan kelompok” daripada “menyerah untuk mengakhiri perang selama ratusan tahun”, sehingga mungkin saat ini tidak akan pernah tercetus Restorasi Meiji. Maka, bukan perihal remeh-temeh seperti “prinsip kerja keras” yang membuat bangsa Jepang dikenal pantang menyerah, tapi “lebih dalam serta lebih syarat akan makna” daripada kerja keras, yakni bushido. Bushido berisi “prinsip kebenaran, keadilan, keberanian, kehormatan, kejujuran, ketulusan, kesetiaan, pengendalian diri, kemuliaan dan kesopanan”, sehingga prinsip ini membuat mereka berpikir ala Barat, namun bertindak ala budaya Negeri Sakura.

Maka, menilik dari semua itu, kadang saya tak terima dengan pembicara umum yang mengatakan, “otak Orang Indonesia lebih mahal daripada otak Orang Bule, karena otak Orang Bule dipakai mikir sedangkan otak Orang Indonesia tidak”. Entah ini mitos, fakta, atau hanya bermaksud memberikan motivasi semata, tetap saja, saya seratus persen tidak setuju. Karena saya tahu kualitas Pak Habibie sebagai orang Indonesia, saya juga membaca kisah tentang jutaan prestasi “anak bangsa” yang menghiasi negeri, sehingga saya yakin bangsa kita tidak semalas itu. Adapun alasan kita santai-santai diasumsikan begitu, sebab kita punya pemahaman yang salah atas “kemajuan” Orang Bule, lantas sebagian dari kita cenderung menyimpulkan Orang Bule “banyak mikir keras”, padahal itu persepsi yang keliru. Justru, Orang Bule melakukan sebaliknya, yaitu “melamun santai” alih-alih berpikir dengan keras, sehingga “proses kreatif” itu menghasilkan prestasi bagi mereka.

Buktinya—menurut POV saya—jika Anda membaca biografi lengkap Albert Enstein, malah beliau tidak pernah melakukan “kerja keras” untuk berpikir. Enstein sepanjang hari hanya “berkhayal menunggangi cahaya” sehingga dengan “komparasi pikiran” yang imajinatif itu, ia dengan mudah menyederhanakan fakta menjadi sebuah “rumus brilian”. Lantas, ternyata Albert Enstein hanya melakukan “proses mengarang nonfiksi” yang out of the box. Dalam hal ini, semua orang berpotensi menemukan rumus Albert Enstein, tapi saat itu tidak semua orang kepikiran memilih “berkhayal dan meninggalkan kewarasan” seperti beliau.

Jadi, saran saya pikirkan lagi motivasi Anda untuk “kerja keras”. Apakah Anda bekerja keras untuk mencapai cita-cita, atau hanya membutuhkan “penghargaan semata sebagai orang yang ulet”. Lalu, kalau untuk menggapai cita-cita, pikirkan lagi apakah Anda mau berlama-lama menggapai impian Anda karena fokus pada “prinsip kerja keras”? Sebaliknya, jika Anda butuh “penghargaan”, maka jangan menjadikan hal remeh-temeh seperti “kerja keras” sebagai tujuannya, sehingga kalau Anda tidak tanggung-tanggung “menjadikan penghargaan sebagai tujuan”, maka Anda akan mencari “penghargaan yang bernilai tinggi”.

Lantas, fokus Anda tak lagi sebatas “permukaan” seperti mencari perhatian saja, tapi berkarya untuk menghasilkan produk berkualitas dunia yang akan membuat Anda bergelar masterpiece. Tanpa bermaksud memuji, sebenarnya Anda punya potensi “maha besar” sehingga dapat menguasai dunia dengan kreatifitas, lalu mendapatkan “seluruh pujian” dari mahluk di bumi karena kehebatan Anda, dan pula, mendapat pujian dari malaikat di langit karena “kerendahan hati” Anda.

Kepopuleran Andrea Hirata bukan karena faktor “kerja keras”, sebab kalau hanya sebatas itu, nama Sang Penulis mungkin tak sebesar ini, karena justru “sisi manusia” Andrea sendiri yang menghasilkan “citra kualitas” yang tidak bisa didapat dari bekerja keras, sebab alasannya, ia mempersembahkan karya terbaik berjudul Laskar Pelangi itu untuk gurunya di Belitong. Pun, di masa lalu pada 1984, Tadashi Yanai, pendiri toko pakaian bernama Uniqlo, tidak melakukan “kerja keras” untuk menjadikan bisnisnya besar, tetapi cukup merangkak sekali dengan cara “memasukan kaum pria sebagai target konsumen”, maka, jadilah Uniqlo toko pakaian dengan pengunjung pria terbanyak. Lalu, contoh ketiga kita ambil Sang Jutawan, Les Wexner, pemilik kekayaan bersih senilai 7,5 miliar dolar Amerika, alih-alih bekerja keras untuk meraih itu semua, dia justru mengambil langkah kecil berupa “bisnis pakaian dalam wanita” yang kala itu belum ada seorangpun di dunia ini yang kepikiran untuk “menggeluti” bisnis itu.

Saat ini para motivator menasehati kita, “kerja keraslah untuk masa depan yang lebih baik”. Sayangnya, mereka tak tahu bahwa nasihat itu sudah kuno, sehingga karena waktu terus bergulir, masalah umat manusia terus “naik level” dan nasihat yang sudah “ketinggalan zaman”, mustahil dijadikan solusi terhadap masalah yang berbeda. Maka, jika nasihat ndeso seperti “bekerja keraslah” dijadikan pedoman untuk menyelesaikan seluruh masalah Anda, lantas bukannya selesai, masalah Anda semakin bertumpuk-tumpuk.

Kalau tidak percaya, perhatikan ketika serangga lalat hendak keluar dari rumah Anda, dia bekerja keras dengan terbang sambil membentur-benturkan tubuhnya di kaca jendela, sehingga sebab tidak dapat berpikir bahwa ternyata “lubang ventilasi dapat dijadikan jalan keluar”, akhirnya serangga itu hanya mati karena kehabisan tenaga di bingkai jendela. Tanpa bermaksud merendahkan bahwa “orang yang bekerja keras” macam binatang lalat, sebetulnya, saya hanya ingin kembali mengingatkan dengan tulus: kerja keras sangat tidak bermanfaat untuk Anda.

Sekali lagi—dengan emosi yang menggebu-gebu saat proses menulis artikel ini—saya kembali menekankan, bahwa, Anda tidak membutuhkan kerja keras untuk mencapai tujuan, sebab hanya perlu memiliki “informasi yang tepat”, sehingga bukan “kerja keras” yang membuat Anda meraih tujuan, akan tetapi “informasi”. Maka, kalau Anda menutup diri dengan wawasan, tidak mau membaca buku, tidak sudi mendengarkan kritik, tidak peka terhadap lingkungan, lantas, jangan harap Anda “meraih” apa yang Anda impikan. Alih-alih meraih “tujuan”, Anda hanya melakukan “kerja keras” yang menyedihkan.

Terima kasih sudah membaca :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingkah Anda Punya Banyak Teman?

Jawabannya tidak penting. Karena orang yang “punya banyak teman” justru tidak berkembang, berkemampuan rata-rata, menolak berpikir besar, malas bercita-cita tinggi, dan terus-menerus “dikendalikan” lingkungan, sehingga mereka “picik secara bertalu-talu”; sehingga  skill  mereka hanya “diasah setengah hati”; sehingga pemikiran mereka tidak kreatif; sehingga impian mereka bersifat remeh-temeh. Kemudian alhasil, kalau Anda sudah “punya banyak teman”, Anda akan “bias” dan menganggap jika “kemampuan mencari teman” adalah bentuk pengembangan diri, padahal sejatinya, Anda hanya “membilik-bilikkan diri Anda pada kecupetan”; Anda hanya melakukan “langkah biasa yang semua orang bisa”; Anda hanya “bertindak linear, alih-alih lateral”; Anda hanya bertujuan hina-dina seperti “mencari perhatian”. Maka, menilik dari semua itu, kalau tujuan hidup Anda untuk “menambah wawasan, memperbaiki kualitas diri, bertindak  out of the box , dan mendapat penghargaan besar”, lanta...

Alih-Alih Perihal Tercela, Justru Anda Butuh Sikap Negatif

Alasan dari judul itu, sebab tulisan ini mengaitkan antara Sikap Negatif dan kebijaksanaan dalam konteks penyelesaian sebuah masalah. Lantas, pertanyaannya, mengapa harus dikaitkan dengan penyelesaian masalah? Karena dunia dipenuhi “masalah”—sehingga menurut ajaran agama samawi—Tuhan menciptakan “pemimpin di muka bumi” yang disebut manusia untuk menyelesaikan problem-problem itu.         Maka, tujuan Anda hidup tidak lain untuk menyelesaikan sebuah masalah, baik secara personal atau persoalan yang lebih luas; baik perihal sepele atau kesukaran yang luar biasa; baik penyelesaiannya bersifat sementara atau jangka panjang, tapi yang pasti, kalau tidak dapat menyelesaikan masalah, artinya Anda telah gagal sebagai produk Tuhan yang ditugaskan untuk memimpin muka bumi, sehingga kesimpulannya, kecerdasan untuk menyelesaikan masalah akan menentukan kualitas Anda sebagai “manusia”. Tanpa kualitas, Anda dan saya tak lebih unggul dari binatang gajah di pertunjukan sirkus—yang...