Sebab kerja keras sangat tidak bermanfaat untuk Anda,
bahkan—tanpa bermaksud menampik gagasan dari pendidikan umum—cenderung
merugikan dari segi self-improvement,
profesionalitas, serta efisiensi. Alasannya, kerja keras hanya akan menguras
tenaga, memperkecil “proses kreatif” sehingga memperlambat tujuan, dan membuat
Anda tidak dapat mengembangkan potensi. Logikanya tenaga yang habis tidak membuat
Anda produktif; logikanya pencapaian tujuan yang lambat akan “berakhir
menyedihkan” karena—maaf—tidak menutup kemungkinan Anda ditakdirkan mati muda; logikanya
bila potensi Anda tidak berkembang, maka Anda hanya hidup bagaikan jalan di
tempat.
Bayangkan, kalau Anda tetap berprinsip kerja keras dalam
kehidupan, Anda akan mengalami tiga kerugian ini. Kalau Anda tetap “bebal” dan
melanjutkan kerja keras Anda tanpa dasar ilmu, Anda hanya melakukan hal yang
sia-sia, kalau Anda melakukan hal yang sia-sia, Anda tidak akan pernah mencapai
tujuan Anda, jika tujuan Anda tidak tercapai, Anda akan sedih, putus asa,
menyalahkan diri sendiri, rendah diri, merasa hina-dina, lebih parahnya, Anda
akan melakukan tindak kriminal, atau, melampiaskannya dengan bunuh diri. Paling
tidak—tanpa perlu menghiraukan unsur horor dalam paragraf ini—bagi saya pribadi,
kerja keras sangat tidak berguna bagi kehidupan umat manusia.
Mayoritas umat manusia di penjuru bumi adalah pekerja
keras. Tanpa perlu dibuktikan, kita semua tahu, kebanyakan orang “bekerja keras”
untuk mendapat nilai tinggi secara akademik mulai dari SD-SMA, lalu melanjutkan
“kerja keras” itu untuk mendapat IPK bagus di perkuliahan, sehingga setelah
lulus kuliah pun, prinsip kerja keras masih diterapkan, sehingga orang-orang
ini hanya berakhir “banting tulang siang-malam untuk menafkahi keluarga serta memenuhi
kebutuhan mendesak”. Maka akhirnya, kehidupan mereka pun menghasilkan sesuatu
yang biasa, sebab hanya bercita-cita punya rumah dan mobil—baca: impian yang mainstream—sehingga “pikiran mereka yang
imajinatif” dibatasi oleh prinsip bernama “kerja keras”, serta-merta, prinsip
itu dijadikan tolok ukur untuk “keberanian” dalam mewujudkan sesuatu.
Lantas hasilnya, “mereka bermimpi kecil, tapi bekerja
keras dengan membabibuta”. Di sisi lain, sedikit dari mereka yang sadar kalau kerja
keras hanya “gali lubang, tutup lubang”; sedikit dari mereka yang tahu “kerja
keras” ternyata menghabiskan tenaga yang berujung pada stress; sedikit dari
mereka yang memahami kalau potensi dalam diri tak berkembang; sedikit dari mereka
yang mengerti bahwa selama “berprinsip kerja keras”, mereka tidak dapat
melampaui Sang Atasan yang menyuruh “sesuka hati” untuk menghasilkan uang
dengan dalih profesionalisme itu.
Pada saat yang sama, minoritas umat manusia adalah
“pemalas yang tenang”, mereka cenderung diremehkan sebab “merangkak seperlunya”
saat melihat peluang yang tepat saja. Akan tetapi, berbeda dari Si Pekerja
Keras yang membabibuta, ternyata mereka dapat mencapai tujuan hanya dengan
“sekali merangkak”, sehingga Si Pemalas yang Tenang dapat disimpulkan “bernilai
lebih unggul”.
Pula, Si Pemalas yang Tenang ini tidak boros tenaga,
sehingga secara profesional terus produktif menghasilkan karya. Mereka fokus
pada penggalian potensi diri dan terus melejit “secara berbeda” di antara
orang-orang yang terpaku pada kompetisi dunia kerja; mereka “idealis yang
tenang” ketika berada di lingkungan yang terbelakang sehingga keadaan
lingkungan tak dapat memengaruhi persistensi; mereka Sosialis yang suka
menderma tanpa takut miskin, pun, bersamaan dengan itu, Si Kapitalis Cerdas yang
dapat menghasilkan keuntungan berlipat-lipat. Dalam hal ini, tentu, kehidupan
mereka penuh keseimbangan.
Lain daripada itu, sebagian masyarakat kita masih menilai
“tindakan” bangsa lain yang sudah “maju secara ekonomi dan teknologi” sebatas
permukaan—baca: aktivitas yang tampak oleh mata saja—sehingga mereka tidak
dapat merasakan “pemikiran besar” bangsa-bangsa ini. Contoh, ternyata masih ada
yang “menilai” negara seperti Amerika dan Jepang “maju secara ekonomi dan
teknologi karena mereka bekerja keras”, padahal jika sebab faktor “kerja keras”,
alih-alih Amerika “mengendalikan” dunia dengan ekonominya, malah bangsa itu
“dikendalikan” bangsa lain karena mengalami krisis. Alasannya, pengendalian membutuhkan
“ilmu pengetahuan, intuisi, kreatifitas, keberanian, kebijaksanaan dan
efektifitas”, bukannya malah faktor “kerja keras yang membabibuta”.
Pun, jika bangsa Jepang memilih “bekerja keras”, mereka
akan terus berperang saudara karena masing-masing lebih memilih “kerja keras
untuk kepentingan kelompok” daripada “menyerah untuk mengakhiri perang selama
ratusan tahun”, sehingga mungkin saat ini tidak akan pernah tercetus Restorasi
Meiji. Maka, bukan perihal remeh-temeh seperti “prinsip kerja keras” yang
membuat bangsa Jepang dikenal pantang menyerah, tapi “lebih dalam serta lebih syarat
akan makna” daripada kerja keras, yakni bushido.
Bushido berisi “prinsip kebenaran, keadilan, keberanian, kehormatan, kejujuran,
ketulusan, kesetiaan, pengendalian diri, kemuliaan dan kesopanan”, sehingga
prinsip ini membuat mereka berpikir ala Barat, namun bertindak ala budaya
Negeri Sakura.
Maka, menilik dari semua itu, kadang saya tak terima
dengan pembicara umum yang mengatakan, “otak Orang Indonesia lebih mahal
daripada otak Orang Bule, karena otak Orang Bule dipakai mikir sedangkan otak Orang
Indonesia tidak”. Entah ini mitos, fakta, atau hanya bermaksud memberikan
motivasi semata, tetap saja, saya seratus persen tidak setuju. Karena saya tahu
kualitas Pak Habibie sebagai orang Indonesia, saya juga membaca kisah tentang
jutaan prestasi “anak bangsa” yang menghiasi negeri, sehingga saya yakin bangsa
kita tidak semalas itu. Adapun alasan kita santai-santai diasumsikan begitu,
sebab kita punya pemahaman yang salah atas “kemajuan” Orang Bule, lantas
sebagian dari kita cenderung menyimpulkan Orang Bule “banyak mikir keras”,
padahal itu persepsi yang keliru. Justru, Orang Bule melakukan sebaliknya,
yaitu “melamun santai” alih-alih berpikir dengan keras, sehingga “proses
kreatif” itu menghasilkan prestasi bagi mereka.
Buktinya—menurut POV saya—jika Anda membaca biografi
lengkap Albert Enstein, malah beliau tidak pernah melakukan “kerja keras” untuk
berpikir. Enstein sepanjang hari hanya “berkhayal menunggangi cahaya” sehingga
dengan “komparasi pikiran” yang imajinatif itu, ia dengan mudah menyederhanakan
fakta menjadi sebuah “rumus brilian”. Lantas, ternyata Albert Enstein hanya
melakukan “proses mengarang nonfiksi” yang out
of the box. Dalam hal ini, semua orang berpotensi menemukan rumus Albert
Enstein, tapi saat itu tidak semua orang kepikiran memilih “berkhayal dan
meninggalkan kewarasan” seperti beliau.
Jadi, saran saya pikirkan lagi motivasi Anda untuk “kerja
keras”. Apakah Anda bekerja keras untuk mencapai cita-cita, atau hanya
membutuhkan “penghargaan semata sebagai orang yang ulet”. Lalu, kalau untuk menggapai
cita-cita, pikirkan lagi apakah Anda mau berlama-lama menggapai impian Anda
karena fokus pada “prinsip kerja keras”? Sebaliknya, jika Anda butuh
“penghargaan”, maka jangan menjadikan hal remeh-temeh seperti “kerja keras”
sebagai tujuannya, sehingga kalau Anda tidak tanggung-tanggung “menjadikan
penghargaan sebagai tujuan”, maka Anda akan mencari “penghargaan yang bernilai
tinggi”.
Lantas, fokus Anda tak lagi sebatas “permukaan” seperti
mencari perhatian saja, tapi berkarya untuk menghasilkan produk berkualitas
dunia yang akan membuat Anda bergelar masterpiece.
Tanpa bermaksud memuji, sebenarnya Anda punya potensi “maha besar” sehingga
dapat menguasai dunia dengan kreatifitas, lalu mendapatkan “seluruh pujian”
dari mahluk di bumi karena kehebatan Anda, dan pula, mendapat pujian dari
malaikat di langit karena “kerendahan hati” Anda.
Kepopuleran Andrea Hirata bukan karena faktor “kerja
keras”, sebab kalau hanya sebatas itu, nama Sang Penulis mungkin tak sebesar
ini, karena justru “sisi manusia” Andrea sendiri yang menghasilkan “citra
kualitas” yang tidak bisa didapat dari bekerja keras, sebab alasannya, ia
mempersembahkan karya terbaik berjudul Laskar Pelangi itu untuk gurunya di
Belitong. Pun, di masa lalu pada 1984, Tadashi Yanai, pendiri toko pakaian
bernama Uniqlo, tidak melakukan “kerja keras” untuk menjadikan bisnisnya besar,
tetapi cukup merangkak sekali dengan cara “memasukan kaum pria sebagai target
konsumen”, maka, jadilah Uniqlo toko pakaian dengan pengunjung pria terbanyak.
Lalu, contoh ketiga kita ambil Sang Jutawan, Les Wexner, pemilik kekayaan
bersih senilai 7,5 miliar dolar Amerika, alih-alih bekerja keras untuk meraih
itu semua, dia justru mengambil langkah kecil berupa “bisnis pakaian dalam
wanita” yang kala itu belum ada seorangpun di dunia ini yang kepikiran untuk “menggeluti”
bisnis itu.
Saat ini para motivator menasehati kita, “kerja keraslah
untuk masa depan yang lebih baik”. Sayangnya, mereka tak tahu bahwa nasihat itu
sudah kuno, sehingga karena waktu terus bergulir, masalah umat manusia terus
“naik level” dan nasihat yang sudah “ketinggalan zaman”, mustahil dijadikan
solusi terhadap masalah yang berbeda. Maka, jika nasihat ndeso seperti “bekerja keraslah” dijadikan pedoman untuk
menyelesaikan seluruh masalah Anda, lantas bukannya selesai, masalah Anda
semakin bertumpuk-tumpuk.
Kalau tidak percaya, perhatikan ketika serangga lalat
hendak keluar dari rumah Anda, dia bekerja keras dengan terbang sambil
membentur-benturkan tubuhnya di kaca jendela, sehingga sebab tidak dapat
berpikir bahwa ternyata “lubang ventilasi dapat dijadikan jalan keluar”,
akhirnya serangga itu hanya mati karena kehabisan tenaga di bingkai jendela. Tanpa
bermaksud merendahkan bahwa “orang yang bekerja keras” macam binatang lalat,
sebetulnya, saya hanya ingin kembali mengingatkan dengan tulus: kerja keras
sangat tidak bermanfaat untuk Anda.
Sekali lagi—dengan emosi yang menggebu-gebu saat proses
menulis artikel ini—saya kembali menekankan, bahwa, Anda tidak membutuhkan
kerja keras untuk mencapai tujuan, sebab hanya perlu memiliki “informasi yang
tepat”, sehingga bukan “kerja keras” yang membuat Anda meraih tujuan, akan
tetapi “informasi”. Maka, kalau Anda menutup diri dengan wawasan, tidak mau
membaca buku, tidak sudi mendengarkan kritik, tidak peka terhadap lingkungan,
lantas, jangan harap Anda “meraih” apa yang Anda impikan. Alih-alih meraih
“tujuan”, Anda hanya melakukan “kerja keras” yang menyedihkan.
Terima kasih sudah membaca :)
Komentar
Posting Komentar